Rabu, 04 November 2009

ISLAM AGAMA, KEBUDAYAAN, DAN PERADABAN

ISLAM AGAMA, KEBUDAYAAN, DAN PERADABAN

A. Islam sebagai Agama dan Kebudayaan

Kata agama dan kebudayaan merupakan dua kata yang seringkali bertumpang tindih, sehingga mengaburkan pamahaman kita terhadap keduanya. Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali membingungkan ketika kita harus meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-hari.

Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Koentjaraningrat juga menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur universal yang terdapat dalam semua kebudayaan yaitu, sistem religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan.

Pandangan di atas, menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian, agama (menurut pendapat di atas) merupakan gagasan dan karya manusia. Bahkan lebih jauh Koentjaraningrat menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat berubah dan agama merupakan unsur yang paling sukar untuk berubah.

Ketika Islam diterjemahkan sebagai agama (religi) berdasar pandangan di atas, maka Islam merupakan hasil dari keseluruhan gagasan dan karya manusia. Islam pun dapat pula berubah jika bersentuhan dengan peradaban lain dalam sejarah. Islam lahir dalam sebuah kebudayaan dan berkembang (berubah) dalam sejarah. Islam merupakan produk kebudayaan. Islam tidaklah datang dari langit, ia berproses dalam sejarah. Pandangan tersebut telah melahirkan pemahaman rancu terhadap Islam. Pembongkaran terhadap sejarah Al-Qur’an, justifikasi terhadap ide-ide sekulerisme, dan desakan untuk ‘berdamai’ menjadi Islam Inklusif, merupakan produk dari kerancuan pemahaman tersebut.

Agama yang disebut dalam pandangan Kontjaraningrat di atas tentu tidak dapat dinisbatkan kepada Islam. Pemaksaan untuk memasukan Islam dalam teori tersebut akan menghasilkan pemahaman yang rancu. Islam seharusnya diberi kesempatan untuk menafsirkan dirnya sendiri. Islam pun harus berikan keleluasaan untuk mendevinisikan kebudayaan.

B. Islam dan Kebudayaan

Buya Hamka menyatakan bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa itu sedia telah ada dalam jiwa manusia sendiri. Hal itulah yang universal dalam diri manusia, fitrah manusia. Manusia melihat alam yang megah dan berbagai fenomena luar biasa, kemudian mencoba untuk menjelaskannya.

Dari fitrah itulah menusia kemudian mencari tahu “siapa yang Maha Kuasa?”. Pencarian manusia tersebut telah melahirkan banyak paham dan pandangan yang kemudian dipercayai sebagai agama. Agama-agama semacam ini bukanlah agama yang diturunkan Allah Swt kepada para nabinya, tetapi agama yang berasal dari akal budi dan gagasan manusia. Agama semacam inilah yang tepat untuk dinisbatkan kepada teori Kuntjaraningrat di atas.

Hanya Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Buya Hamka menyatakan: Permulaan perjalanan dinamakan fitrah. Akhir dari perjalanan dinamai Islam. Yang dimaksud dengan kalimat tersebut yaitu, bahwa fitrah manusia untuk mencari Yang Maha Kuasa, akan tetapi manusia akhirnya menyerah karena akal tidak cukup untuk memahaminya. Islam memberikan penjelasan apa yang tidak bisa dijelaskan oleh akal. Itulah kenapa agama ini dinamakan Islam.

…maka insaflah manusia akan kelemahan dirinja, dan insaf akan ke-Maha Besarnja Jang Ada itu. Maka menjerahlah dia dengan segala rela hati. Penjerahan jang demikian dalam bahasa Arab dinamakan Islam.

Lebih jauh Syed Naquib Al-Attas menyatakan:

…Maka dengan pengertian faham agama yang bernisbah kepada kebudayaan seperti yang biasa difahamkan dalam pengalaman Kebudayaan Barat itu tiada pula dapat dikenakan kepada agama Islam –berbeza dari yang lain yang sesungguhnya merupakan keagamaan belaka— bukan hasil renungan atau teori, bukan hasil agung dayacipta insan sebagaimana kebudayaan itu hasil usaha dan dayaciptanya dalam tindakan menyesuaikan dirinya menghadapi keadaan alam sekeliling. Islam adalah agama dalam erti kata yang sebenarnya, iaitu agama yang ditanzilkan oleh Allah Yang Mahasuci lagi Mahamurni dengan perantara wahyu menerusi PesuruhNya yang Terpilih, dan dasar-dasar akidahnya dinyatakan dalam Kitab Suci Al-Qur’anu’l-Karim, dan amalan-amalannya dicarakan dalam Sunnah NabiNya yang Agung itu. Dipandang sebagai suatu peristiwa sejarah pun maka Islam itulah yang mengakibatkan timbulnya kebudayaan Islam, dan bukan sebaliknya: bukanlah sesuatu kebudayaan itu yang mengakibatkan timbulnya agama Islam.

Sementara Prof. Dr. Amer Al-Roubai menyatakan:

Di Barat, agama adalah bagian dari kebudayaan, sedangkan di Islam, budaya didefinisikan oleh agama.

Islam bukanlah hasil dari produk budaya (seperti yang dituduhkan oleh Nasr Hamd Abu Zayd). Islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban. Peradaban yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi tersebut dinamakan peradaban Islam.

Peradaban Islam memiliki pandangan hidup (worldview) yang berbeda dengan peradaban lain. Cara pandang hidup yang berbeda inilah yang menghasilkan konsep-konsep yang berbeda pula. Oleh karena itu, merupakan hak Islam untuk menggunakan pandangan hidupnya (dalam bahasa Al-Attas: ar-Ruyatul al Islam li al-wujud) untuk memahami setiap keberadaan, termasuk kebudayaan.

Dengan pemahaman di atas, kita dapat memulai untuk meletakan Islam dalam kehidupan keseharian kita. Kita pun dapat membangun kebudayaan Islam dengan landasan konsep yang berasal dari Islam pula.

C. Kebudayaan Islam

Kebudayaan Islam dipahami sebagai aktualisasi atas nilai-nilai yang tertanam dalam hati seseorang atau masyarakat. Sebuah kebudayaan dapat disebut Islami apabila nilai-nilai yang membangkitkan kegiatan dan penciptaan pada manusia adalah nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, Islam akan menjadi budaya suatu masyarakat apabila telah menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pijakan berbagai kegiatan dalam kurun waktu yang relatif lama, sehingga menjadi tradisi budaya yang menyatu (Qardhawi, 2001).

Islam yang diwahyukan kepada Muhammad telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak dikenal dan diabaikan oleh bangsa maju. Salah satu bukti bahwa pada awalanya bangsa Arab diabaikan oleh bangsa lain adalah pada saat balatentara Alexander (seorang penduduk kesohor dari dunia masa lampau) telah menduduki Mesir, setelah itu dipirannya daerah yang akan ditaklukan berikutnya adalah Persia yang terkenal makmur dan kaya, bukan Arab (lebih dekat dengan Mesir) yang kering kerontang dan tandus. Islam dengan segala nilai-nilai dan ajarannya dengan cepat mengembangkan dunia, membina satu kebudayaan dan peradaban yang sangat penting, arinya dalam sejarah manusia hingga sekarang.

Landasan kebudayaan Islam adalah agama. Islam tidak seperti masyarakat yang menganut agama bumi karena agama bukan kebudayaan, tetapi melahirkan. Kebudayaan Islam itu berada dengan kebudayaan agama Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Gibb (http://conformeast.multipy.com) sebagai berikut.

“ Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization (Islam pada dasarnya lebih dari sekedar sistem teologi, ia adalah suatu peradaban yang sempurna) karena yang menjadi pokok kekuatan dan sebab timbulnya sebuah sistem kebudayaan adalah agama Islam, kebudayaan yang ditimbulkannya dinamakan kebudayaan atau peradaban Islam”.

Kebudayaan Islam akan tersebar ke dunia luas, jika korps ulama ingin tampil ke depan dengan suatu ajakan yang ilmiah, jauh dari segala cara berpikir buruk dan panatik. Kebudayaan ini akan berdialog dengan hati, dengan pikiran dan dapat dijamin manusia dari segala bangsa akan menerimanya dengan hati terbuka tanpa dapat dicegah dari ambisi-ambisi pribadi. Menggunakan teori ini mampu menghantam kuasa kebudayaan luar dari dalam dan mampu meruntuhkan disiplin-disiplin tradisional humaniora, sehingga kebudayaan Islam menjadi pedoman besar untuk kebudayaan lain dari segi akal, segi moral yang berpedoman teguh pada prinsip sabar dan optimis, sampai segi ukhuwah.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan sangat diperhatikan dalam Islam. Selain itu, kebudayaan juga mempunyai peran untuik membumikan ajaran Islam yang utama sesuai dengan kondisi dan kebutuhan hidup umat manuisa. Jadi, agama bukan kebudayaan, tetapi melahirkan kebudayaan.

D. Peradaban Islam

Peradaban Islam adalah kesopanan, akhlak, tata karma, dan juga sastra yang diatur sesuai syariat Islam [Glasse, 1996:11]. Al-Hujwiri, menegaskan peradaban Islam adalah suatu pelajaran dan pendidikan tentang kebijakan yang merupakan bagian dari “sendi-sendi keimanan”. Lebih jauh disebutkan : Keindahan dan kelayakan suatu urusan, baik urusan agama maupun urusan dunia sangat bergantung kepada ketinggian tingkat pendidikan. Ia mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Nilai-nilai ketaqwaan seperti taat mengikuti sunnah Nabi dan cinta kebajikan. Semua itu bersandar pada pendidikan moral. Manusia yang mengabaikan pendidikan moral ini tidak akan mampu mencapai derajat kesalehan, sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad saw, “Pendidikan moral [pendidikan tentang kebajikan] merupakan syarat utama bagi orang-orang

yang dicintai Tuhan”.

Al Rozi, menekankan bahwa peradaban Islam adalah sejauhmana membina hubungan social, yang mana sikap yang terbaik adalah menjaga kehormatan dari dan menuruti sunnah Nabi. Persahabatan antara sesame manusia harus dibina berdasarkan kepentingan Allah, tidak berdasarkan kepentingan dan keuntungan pribadi. Jadi, peradaban Islam adalah bagian-bagian dari kebudayaan Islam yang meliputi berbagai aspek seperti “moral, kesenian dan ilmu pengetahuan, serta meliputi juga kebudayaan yang mempunyai system teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, dan ilmu pengetahuan yang luas”. Untuk saat ini, pengertian yang umumnya dipakai adalah peradaban Islam merupakan bagian dari kebudayaan yang bertujuan memudahkan dan mensejahterakan hidup dunia dan akhirat.

E. Tinjauan Kritis Fase-Fase Peradaban Islam

Banyak dari kita yang sudah mengetahui tentang fase-fase peradaban islam yang diperkirakan Rasulullah. Dalam haditsnya yang terkenal, beliau menyebutkan tentang keadaan dan kondisi umat islam, yang dalam hal ini beliau cirikan dengan keadaan para penguasanya. Setidaknya beliau membagi fase peradaban islam setelah beliau wafat dalam empat fase. Fase pertama adalah fase dimana kepemimpinan kaum muslimin dikelola oleh orang-orang yang mengacu pada cara (manhaj) kepemimpinan nabi (khilaafah ‘alaa minhaajin –nubuwwah), yang adil dan mengangkat kewibawaan Islam.

Menurut para ulama pergerakan, fase ini disepakati sudah berlalu dengan para aktornya adalah khulafaa-ur-rasyidiin (Khalifah-khalifah yang diberikan petunjuk: Abu Bakr, Umar, Utsman dan Aliy ). Fase kedua merupakan masa dimana para penguasanya kebanyakan adalah penguasa yang sombong, angkuh dan tidak lagi menggunakan manhaj kepemimpinan nabi. Walaupun begitu, para penguasa di fase ini masih menggunakan hukum-hukum Islam sebagai dasar perundangan negara. Fase ini disepakati oleh para ulama pergerakan juga sudah terlewati. Diakhiri dengan runtuhnya kekhilafahan Islam internasional Turki Utsmani pada tahun 1923.

Selanjutnya kaum muslimin akan dihadapkan dengan masa dimana para penguasanya adalah penguasa yang zholim, kejam dan menindas kaumnya sendiri. Fase inilah yang kemudian ditengarai sedang terjadi di dunia Islam pada masa-masa sekarang. Faktanya adalah keadaaan yang melingkupi negeri-negeri Muslimin satu abad terakhir. Bahkan sisa-sisa penindasan itu masih terjadi di beberapa negeri muslim. Begitulah, nasib umat Islam dari zaman ke zaman, terus menurun dari generasi ke generasi, terutama dari segi kualitas internalnya.

Namun, Rasulullah SAW juga tidak membiarkan umatnya berada dalam keputusasaan. Beliau tetap memberitakan bahwa di akhir zaman nanti, setelah fase yang ketiga ini selesai, maka akan muncul masa dimana kepemimpinan umat Islam akan diusung kembali oleh penguasa yang adil. Yaitu orang-orang yang memimpin sesuai dengan manhaj kepemimpinan Rasulullah. Kepemimpinan inilah yang akan membawa umat Islam kembali berwibawa dan menjadi soko guru bagi semesta dunia (ustaadziyyaatul ‘aalam). Pada saat itulah Islam benar-benar bisa dirasakan dan dibuktikan kebenarannya sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Namun, tentu saja masa kembalinya keemasan ini bukan didapat dengan cuma-cuma, Allah tidak memberikannya begitu saja tanpa harga yang harus dibayar. Oleh karena itulah, umat Islam harus berusaha sekuat mungkin untuk bisa melunasi harga yang harus dibayar tersebut.

Fase-fase peradaban Islam di atas, juga mewariskan berbagai macam hal yang sangat mempengaruhi dan berharga pada dinamika kehidupan peradaban manusia. Ditinjau dari warisan peradaban Islam dari masa ke masa, akan terlihat perbedaan mendasar karakteristik warisan itu, sesuai dengan fase peradaban Islam yang saat itu terjadi. Pada zaman awal Islam disebarkan oleh Rasulullah misalnya, beliau sangat menekankan pada asas dasar dari segala kegiatan kehidupan dan peradaban, yaitu akidah (kepercayaan dan keyakinan kepada Allah ‘Azza wa Jalla). Inilah tonggak awal dan dasar dari peradaban Islam itu sendiri. Sekaligus mendasari perbedaan dengan peradaban lain yang pernah ada di dunia ini. Beliau juga meletakkan dasar-dasar hukum interaksi kehidupan manusia dengan syariat yang dibawanya. Tidak sampai disitu, Rasul juga menyumbangkan dirinya selama berada di Madinah, untuk membangun sebuah negara ideal yang berlandaskan Islam sebagai cikal bakal peradaban Islam itu sendiri.

Pada zaman khulafaa-ur-raasyidiin, warisan yang sangat berpengaruh adalah upaya penguatan dari apa yang sudah diletakkan oleh Rasulullah. Abu Bakr, misalnya, melawan orang-orang yang tidak mau berzakat, karena zakat itu sendiri merupakan salah satu pilar dalam Islam, dan jika ada yang tidak mau berzakat, maka digolongkan ke dalam orang yang murtad. Abu Bakr juga memerangi orang-orang yang mengaku menjadi nabi (nabi palsu), sebagai upayanya dalam pembersihan dan penegakan akidah Islam. Selain itu, budaya pewarisan ilmu pengetahuan juga mulai di semarakkan pada zaman ini. Ditandai dengan dikumpulkannya nash-nash al-qur’an yang berserakan lalu kemudian dibukukan dan diperbanyak. Di masa ini, hadits-hadits juga mulai dikumpulkan. Ekspansi da’wah dan pembebasan daerah-daerah sekitar juga mulai diintensifkan, bahkan salah satu ekspedisi pembebasan yang dikirim sudah mencapai negeri China di Timur dan daerah-daerah afrika utara di Barat.

Pada fase peradaban Islam berikutnya, warisan yang paling mencolok adalah warisan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terutama pada dua dinasti awal, yaitu dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah. Pusat-pusat ilmu pengetahuan, perpustakaan dan taman baca, universitas, serta riset-riset modern berkembang pesat dan maju. Dari studi akidah, sampai kedokteran, astronomi dan bahkan ilmu kimia menjadi primadona. Ulama-ulama sains Islam mengukir sejarah mereka dan bahkan sampai sekarang catatan-catatan mereka masih dijadikan referensi. Pusat-pusat peradaban berpindah dari Yunani dan Roma, ke Baghdad (Irak, dinasti Abbasiyyah), Cordova(Spanyol, dinasti Umayyah).

Tidak mengherankan kemudian peradaban Islam saat itu dijuluki dengan penyambung nyawa dari ilmu pengetahuan yang ada di Yunani dan Roma, yang sudah menua dan menyimpang dari hakikat ilmu itu sendiri. Islam menjadi soko guru dunia, dengan total daerah yang dilingkupi oleh pemerintahan Islam mencapai dua pertiga daratan di bumi (Utara: Eropa Selatan, Barat: Afrika Barat, Timur: China, Selatan: India).

Bangunan-bangunan megah, indah dan mewah di semarakkan, dengan arsitektur dan teknologi modern, dan jauh melampaui peradaban Yunani dan Romawi. Sampai sekarang, bangunan-bangunan tersebut masih kokoh berdiri, kecuali yang dihancurkan dan dibakar pada zaman ekpansi Mongol dan pada perang Salib. Taj Mahal, Perpustakaan Internasional di Cordova, Universitas Al-Azhar Mesir, adalah salah satu peninggalan dari banyak lainnya yang sampai sekarang menjadi bukti, bahwa Islam dengan landasan akidahnya, pernah menjadi pusat peradaban dunia. Akan tetapi sayang, pada akhirnya kehancuran itu berawal dari kekeroposan internal umat Islam itu sendiri.

F. Dinamika Gerakan Kebangkitan Islam

Abad ke-15 Hijriah dicanangkan oleh seluruh umat Islam sebagai abad kebangkitan kembali Islam. Chandra Muzaffar menanggapi gaung kebangkitan kembali Islam ini sebagai suatu proses historis yang dinamis. Ada tiga pengertian tentang konsep kebangkitan kembali Islam yang dikemukakan oleh Muzaffar, dua di antaranya adalah : Pertama, konsep ini merupakan suatu penglihatan dari dalam, suatu cara pandang dalam mana kaum muslimin melihat derasnya dampak agama di kalangan pemeluknya. Hal ini menyiratkan kesan bahwa Islam menjadi penting kambali. Artinya, Islam memperoleh kembali prestise dan kehormatan dirinya. Kedua, “kebangkitan kembali” mengisyaratkan bahwa keadaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Maka dalam gerak kebangkitan kembali ini terdapat keterkaitan dengan masa lalu; bahwa kejayaan Islam pada masa lalu itu – jejak hidup Nabi Muhammad saw, dan para pengikutnya – memberi pengaruh besar terhadap pemikiran orang-orang yang menaruh perhatian pada “jalan hidup” Islam pada masa lalu.

Menurut Chandra Muzaffar, kebangkitan kembali Islam antara lain diilhami oleh beberapa faktor, yaitu: Pertama, kekecewaan terhadap peradaban Barat secara keseluruhan yang dialami oleh generapi baru Muslim. Kedua, gagalnya sistem sosial yang bertumpu pada kapitalisme dan sosialisme. Ketiga, ketahanan ekonomi negara-negara Islam tertentu akibat melonjakkanya harga minyak, dan Keempat, rasa percaya diri kaum Muslimin akan masa depan mereka akibat kebenangan Mesir atas Israil tahun 1975, revolusi Iran tahun 1979 dan fajar kemunculan kembali peradaban Islam abad ke-15 menurut kalender Islam.

Di sisi lain, sebagian ahli mengatakan bahwa “kebangkitan Islam merupakan wacana yang suram dalam pemikiran Islam kontemporer. Tetapi, fenomena ini tidak sepenuhnya tampak jelas, tetapi sebaliknya tidak pula dapat dikatakan tidak jelas”. Fenomena ini dapat diamati dibeberapa negara Islam yang mengalami krisi politik, eknomi, dan sosial budaya seperti Afganistan, Iraq, Indonesia sebagai negara muslim yang mengalami krisis ekonomi berkepanjangan. Palestina yang mengalami tekanan dari Israil dan Amerika yang tidak memapu bangkit dan berkembang, serta Iraq yang dijajah oleh Amerika sebagai emperialisme baru diera modern.

Ungkapan “kebangkitan kembali” di atas menyiratkan adanya proses dan gerak berkesinambungan yang mengacu ke masa depan yang dinamik. Dinamik Islam dalam kebudayaan sebagaimana telah dicapainya pada masa-masa keemasannya diharapkan dapat tampil kembali dan sekaligus menjadi tenaga penggerak bagi munculnya kejayaan budaya baru di masa depan. Kejayaan ini hanya akan mucul jika dinamika Islam benar-benar dapat menyentuh dan membangkitkan seluruh rangsangan budaya. Untuk itu sikap kultural yang kreatif harus tumbuh dan menggelora dalam gerak dunia Islam.

Tantangan terhadap Islam dewasa ini justru datang dari segi kebudayaan. Persoalan kebudayaan dan peradaban kurang menjadi perhatian dan pemikiran baru serta kreatif sebagai upaya memajukan kebudayaan dan peradaban Islam. Tanpaknya umat Islam lebih puas menerima kebudayaan dan peradaban dari dunia Barat, karena takut dikatakan tidak mau menerima perubahan, ketinggalan zaman, dan bahkan dikatakan kolot.

Kemudian umat Islam mengeksport secara besar-besaran, pemakai, dan bahkan sebagai pengagum budaya dan peradaban Barat. Jadi, tantangan Islam dewasa ini justru dari segi kebudayaan. Artinya pemikiran umat Islam pada “masalah ibadah [formal] sudah “selesai”. Asal ibdat itu dikerjakan dengan baik, benar, khusyu’ dan ikhlas, sudah memenuhi syarat. Umat Islam tidak lagi memikirkan tata cara dan upacaranya, sebab telah ada ketentuan-ketentuan dari Allah yang sudah pasti, permanen dan serba tetap. Namun untuk masalah-maslah kebudayaan meminta perhatian dan pemikiran-pemikiran baru yang kreatif dalam upaya memajukannya”.

Untuk selalu mengagung-agungkan kebesaran masa silam sudah bukan waktunya lagi. Mempelajarinya masa lalu sebagai pengalaman, pengetahuan, dan sejarah [historis] untuk membangun perdaban masa depan adalah suatu hal yang harus dilakukan. Tetapi, “sikap selalu mengagungkan kebesaran masa silam adalah “sikap defensif dan apologetis. Mental defensif dan apologetis dalam banyak hal tidak selalu menguntungkan karena berpikir secara reaktif, tidak kreatif.

Sikap dan mental defensif dan sikap apologetis hanya memberikan “kepuasaan” sementara dan kebanggaan semu, tetapi tidak memberikan fungsi sebenarnya kepada akal. Karena itu, dalam rangka pengembangan kebudayaan Islam, akal harus difungsikan secara kreatif untuk menghasilkan karya-karya yang mengukuhkan eksistensi pilar-pilar masa depan Islam. Untuk itu, kebesaran masa lalu memang harus dipelajari secara seksama, bukan untuk didengungkan dan membuat kita terlena, tetapi dengan pelajaran dan pengalaman masa lalu itu kita harus membuat era kejayaan yang baru untuk masa sekarang dan masa akan datang.

Al-Qur’an memberi sinyalemen sebagai berikut, “Apakah meraka tidak memjelajahi bumi dan memperhatikan bagaimana akibat [yang dialami] orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu lebih kuat daripada mereka [sendiri] [Q.S. Ar-Ruum [30]:9].Apakah mereka tidak melawat di bumi, maka mereka tidak memperhatikan bagaimana akibat orang-orang yang sebelum mereka? Allah menimpakan kebinasaan atas mereka” [Q.S. Muhammad [47]:10].

Dari dua ayat Qur’an ini, jelas menunjukkan bahwa manusia harus memperhatikan dan mempelajari pengalaman orang-orang masa lalu. Hal itu, berarti umat Islam diperintahkan mempelajari sejarah? Mengapa? Sejarah adalah cermin masa lalu untuk dijadikan pedoman bagi masa kini dan mendatang. Oleh karena itu, sejarah bagi kaum muslimin tidak hanya bermanfaat bagi cermin dan pedoman, tetapi juga menjadi alat untuk memahami secara lebih tepat sumber-sumber Islam. Melalui dan dari sejarah, orang akan mengenal siapa dirinya serta memperoleh keteladanan. Dari sini, hal-hal yang positif dapat terus dikembangkan, sehingga kita dapat membuat era kejayaan yang baru untuk masa sekarang dan masa akan datang untuk membangun peradaban manusia.

Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk menjadi sebaik-baik umat, bukan sebaliknya. Sudah barang tentu kita tidak ingin menjadi seburuk-buruk golongan umat, akan tetapi kita ingin menjadi “sebaik-baik golongan ummat”, karena Islam mengajarkan untuk menjadi ummat terbaik [khairu ummah]. Yakni ummat yang telah memiliki kejayaan dan kemulyaan pada masa silam dan berusaha terus untuk meraih kemajuan, kemulyaan dan kejayaan baru. Maka, tentang kemulyaan di masa silam, ummat Islam telah mempunyainya. Sekarang, kemulyaan dan kejayaan untuk era budaya baru harus diciptakan kembali.

Dalam sejarahnya, keyajaan itu bukan hanya terjadi di Barat seperti kita saksiakan ini. Tetapi kejayaan selalu berpindah tangan dari satu bangsa kepada bangsa lain. Garis besar perjalanan sejarah kejayaan itu bermula dari Mesir, berpindah ke Babilonia, dari Babilonia ke Aegian, dari Aegian ke Yunani, dari Yunani ke Carthago, dari Carthago ke Roma, dari Roma ke ummat Islam, dan akhirnya dari ummat Islam berpindah ke Barat. Maka, kejayaan Barat dan kebudayaannya sekarang ini pun sudah diramalkan akan juga berakhir.

Di ambang pintu berakhirnya dominasi Barat modern dewasa ini, kesempatan besar terbuka bagi Islam untuk membuat kejutan-kejutan kemajuan budaya baru. Menurut Faisal Ismail, bahwa hal ini bukan suatu hal yang mustahil terjadi, karena Tuhan sendiri menggilirkan hari-hari kejayaan itu di antara para manusia [bangsa]. Menurut Faisal Ismail, kejutan-kejutan sebanarnya sudah dimulai oleh pelopor-pelopor kebangkitan Islam, seperti Jamaluddin al-Afghani [1838-1897 M], Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905 M] bersama muridnya Syaikh Rashid Ridha [1856-1935 M], yang mengumandangkan ruh jihad dan ijtihad. Al-Afghani, menulis buku dalam bahasa Persia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Abduh dengan judul Ar-Ruddu ‘alad-Dahriyin [Penolakan atas Paham Materialisme]. Al-Afghani, memperingatkan bahwa terdensi berbahaya yang melekat pada kebudayaan Barat adalah “materialisme”.

Lewat poyek politiknya yang terkenal dengan “Pan-Islamisme”, al-Afghani terkenal sebagai seorang arsitek dan aktivis “revitalis Muslim pertama” yang menggunakan konsep “Islam dan Barat sebagai fenomena sejarah yang berkonotasi korelatif dan sekaligus bersifat antagonistik. Seruang al-Afghani kepada dunia dan umat Islam untuk menentang dan melawan Barat, sebab al-Afghani melihat kolonialisme Barat sebagai musuh yang harus dilawan karena mengancam Islam dan umatnya. Sementara disisi lain, al-Afghani juga menghimbau dan menyerukan kepada umat Islam untuk mengembangkan akal dan teknik seperti yang dilakukan oelh Barat agar kaum Muslimin menjadi kuat. Ide pembaruan dan kebangkitan Islam yang dilancarkan oleh Muhammad Abduh, pembaru dari Mesir itu, juga memiliki pengaruh yang luas.

Gagasan-gagasan pemabruan Abduh diformulasikan oleh HAR Gibb ke dalam empat butir penting, yaitu :

1. Memurnikan Islam dari pengaruh-pengaruh dan praktik-praktik yang merusak.

2. Melakukan reformasi pendidikan tinggi Islam.

3. Melakukan reformasi doktrin Islam berdasarkan pemikiran modern.

4. Mempertahankan Islam dari serangan-serangan Barat-Kristen.

Muhammad Iqbal [1873-1938 M] dari India, seorang penyair sekaligus filosof, yang banyak mendalami kebudayaan Barat dan kebudayaan Islam. Iqbal lewat puisi-puisinya merangsang dan membangun semangat juang ummat Islam untuk kejayaan Islam. Iqbal memperingatkan bahwa cita etis dalam kebudayaan Barat telah digantikan oleh paham serba guna [utilitarianisme] dalam bentuknya yang kasar, yaitu serba dagang atau komersialisme. Oleh karena itu, Iqbal lewah sebuah pusinya mengkritik kebudayaan Barat, yaitu : “Akal budi dan agama telah diperdaya bid’ah. Dan cuta-cita asyik’lah dialihkan serba dagang semata. Kau berserikat dengan benda, Tak memberikan padamu apa-apa, kecuali perhiasan zahir. Kamatian mencanangkan kedatangan hidup baru untuk dunia.

Kesempatan-kesempatan baik bagi Islam semakin terbuka juga dengan telah bangkinya negara-negara Islam dari cengkraman penjajahan, terutama di Asia dan Afrika, yang berpenduduk mayoritas Islam. Selain itu, telah didirikan organisasi-organisasi Islam untuk menggalang persatuan dan kesatuan Islam secara internasional, yang sangat berguna bagi forum dialog dalam merundingkan permasalahan-permasalahan Islam dan sekaligus memecahkannya. Diskusi, konsultasi dan konsolidasi makin terasa intensif dilakukan di Dunia Islam.

Organisasi-organisasi Islam internasional itu di antaranya dapat disebut World Muslim Conggres, [bermarkas di Karachi], World Muslim League [Rabithah Alam Islamy, berpusat di Mekkah dan Majlis A’la al-Alamy lil-Masajid [Dewan Masjid se-Dunia], berkedudukan di Mekkah. Di samping itu muncul pula pusat-pusat Islam [Islamic Centre] di berbagai kota dan negara seperti di Washington [Amerika Serikat], Londong, Jepang, Belanda, Jerman dan sebagainya. Maka dengan lewat borsur-brosur dari oragnisasi-organisasi tersebut, ajaran-ajaran Islam disebarkan menebus radius lingkungan yang lebih luas.

Dalam gerakan kebangkitan kembali itu terlihat pula kemajuan pembangunan ekonomi yang sedikit demi sedikit menanjak maju di kalngan negara-negara Islam. Bangsa-bangsa Arab di kawasan Timur Tengah dengan kekayaan minyaknya semakin memperlihatkan getaran-getaran kemajuan. Negara-negara Arab ini sempat membuat resah negara-negara industri Barat dengan politik “embargi minyak”-nya ketaika terjadi perang Arab-Israil di tahun 1970-an. Embargo minyak oleh negara-negara Arab ini telah mencemaskan negara-negara Barat bagi kelangsungan hidup industri-industri mereka. Sekarang ini, pada dekade 2000-an negara Pakistan dan Iran, juga menggetarkan negara Eropa dan Barat dengan program teknologi nuklirnya.

Proses kebangkitan kebudayaan Islam makin terasa. Ini tidak lain karena Islam itu sendiri yang menjadi energi ruhaniah dan etos akliyah. Energi, vitalitas dan etos inilah yang memberi semangat “renaissance” kebudayaan di kalangan umat Islam dewasa ini. Menarik apa yang ditulis seorang guru besar dari universitas McGill, Charles J. Adams, bahwa :

Tercapainya kemerdekaan politik dan berkembangnya kesadaran nasional di kalangan umat Islam disertai satu renaissance kebudayaan. Umat Islam menoleh kembali kepada sejarah kejayaan mereka di zaman lampau untuk menemukan kembali identitas mereka, serta mendapatkan bimbingan hidup dalam menghadapi keadaan dan persoalan-persoalan yang serba sulit dan berat dalam dunia medern sekarang. Setelah mereka kehilangan vitalitas selama beberapa abad sampai sekarang, Islam sekali lagi menempuh masa kebangkitannya. Umat Islam yang berjumlah 1/7 atau lebih dari jumlah penduduk dunia, setiap hari meningkat baik dalam jumlahnya atau pun dalam kekayaannya dan nilai kedudukannya.

Vilatitas baru di kalangan umat Islam ini juga membawa kebangkitan dalam arti religius [keagamaan] di antara mereka sendiri. Di tengah-tengah mereka mengalami kemerosotan dari dalam dan menghadapi tekanan-tekanan dari luar, mereka berusaha memurnikan dan memuliahkan segi-segi penting dari ajaran agama yang mereka warisi. Islam telah mencapai dinamika baru dan merupakan suatu kekuatan utama yang mendorong umat Islam untuk memperoleh kedudukan lebih baik di dunia ini. Maka, jika dikaitkan dengan situasi dunia Islam dewasa ini, apa yang ditulis Adams, agaknya tidak jauh berbeda, bahkan itulah yang sebenarnya terjadi: kebangkitan Islam dengan renaissance kebudayaannya.

G. Kebangkitan Kembali Kebudayaan Islam

Situasi yang melatarbelakangi dunia dewasa ini memang memungkinkan Islam untuk hadir dan tampil kembali. Barat dengan kebudayaannya sudah diramalkan akan tamat, sementara itu akan muncul peradaban baru yang bercorak keagamaan ideal. Khurshid Ahmad, berbicara tentang “kita berjuang, dana masa depan adalah Islam” ketika mengantarkan buku karya Abul A’la Maududi Islam Today, agaknya hal itu bukan suatu ilusi. Sebab tak kurang dari seorang G.B. Shaw meramalkan bahwa Islam akan dapat menancapkan eksistensinya di Eropa. Shaw, juga berbicara tentang daya-tarik Islam, vitalitasnya yang mengagumkan, dan kapasitas asimilasi Islam terhadap perubahan-perubahan dari eksistensi ini.

Lengkapnya, Shaw berkata : “Apabila ada agama yang mendapatkan kesempatan untuk memerintah negeri Inggris, bukan, malahan Eropa, pada seratus tahun yang akan datang, maka agama itu tidak lain adalah Islam. Saya selalu menempatkan agama Muhammad ini pada penghargaan tinggi karena vitalitasnya yang mengagumkan. Agama ini adalah satu-satunya agama yang menurut saya memiliki kapasitas assimilasi terhadap perubahan-perubahan dari eksistensi ini, yang mampu memberikan daya tariknya pada tiap-tiap masa. Saya percaya jika ada seorang seperti Muhammad itu harus memegang kediktatoran dari dunia modern ini, ia akan berhasil dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dunia ini dengan cara yang membawa kepada perdamaian dan kebahagiaan yang sangat dibutuhkan.

Soedjatmoko, mengemuakakan sebuah proyeksi yang menarik tentang masa depan dunia. Soedjatmoko, mengatakan bahwa peradaban negara-negara industri tampaknya sudak mencapai titik optimal dalam perkembangannya. Kelebihan yang tampaknya belum dapat dikejar oleh negara-negara berkembang kini hanya tinggal di bidang pesenjataan. Dalam keadaan demikian, negara-negara berkembang akan dituntut untuk mengembangkan peradaban mereka sendiri. Soedjatmoko, memperkirakan munculnya tiga peradaban dunia dari negara-negara berkembang di masa depan, yakni : [1] peradaban Senetik [bersumber pada dataran Cina] yang meliputi kawasan RRC, Krea, Jepang dan Vietnam, [2] Peradaban Indik [bersumber dari ke Indiaan] dengan lingkup sebagain kawasan Asia Tenggara, Srilangka dan anak benua India sendiri, dan [3] Peradaban Islam yang membentang dari Asia Tenggara hingga ke Marokko.

Khusus tentang munculnya peradaban Islam yang diramalkan Soedjatmoko sebagai salah satu peradaban dunia nanti, jika dikaitkan dengan pengamatan sastrawan Inggris, Shaw, ada relevansinya. Shaw, mengatakan bahwa agama di masa depan bagi orang-orang yang berpendidikan, berilmu, berbudaya dan berkebudayaan adalah Islam. “The future religion for the educated, enlightened and cultured people will be Islam.

Alisjahbana, dengan melihat potensi kebebasan umat Islam Indonesia dan kuatnya nilai agama, nilai ilmu dan ekonomi pada kebudayaan Islam, menaruh perhatian khusus dengan mengatakan : “Kalau lita lihat dan bandingkan berbagai-bagai kebudayaan ekspresif, yaitu kebudayaan yang dikuasai oleh intuisi, perasaan dan fantasi agama dan seni, mungkin kebudayaan Islam yang dianut sebagian terbesar dari rakyat Indonesia dan yang kuat nilai agama maupun nilai ilmu dan ekonominya, seolah-olah teruntuk buat serta mencari jawab soal-soal manusia abad ke-20”.

Selanjutnya Alisjahbana mengatakan, untuk melakukakan hal itu, ahli-ahli fikir Islam mesti kembali merumuskan keseimbangan antara agama dan ilmu, antara kekudusan rahasia hidup dan alam semesta dengan kenyataan dunia empirik yang dapat dikaji oleh pikiran. Jika ini dapat dilakukan, maka tidak mustahil dalam zaman ini, umat Islam dapat memimpin seluruh dunia dalam menghadapi masa yang akan datang.

Dari pemikiran yang dikemukakan di atas, sebenarnya kebangkitan Islam dan kebudayaan tergantung kepada umat Islam sendiri, tergantung kepada amal-amal kultural atau aktivitas-aktivitas kebudayaan yang dilakukannya. Maka, tanpa amal-amal kultural atau kegiatan kultural, kebangkitan kebudayaan Islam akan hanya merupakan harapan dan pengandaian saja. Tetapi apa yang dikatakan Toynbee [1889-1975 M] bahwa “masa depan dari agama-agama besar di dunia sekarang ini, tergantung pada apa yang mereka perbuat bagi umat manusia, di dalam abad di mana kita hidup”. Di bagian lain, Toynbee mengatakan, bahwa : “Sekarang ini pengharapan kita untuk menolong peradaban dunia hanya tinggal kepada Islam yang masih sehat, kuat, belum telumuri kebenarannya dengan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dibawanya sebagai modal untuk menolong seluruh dunia kemanusiaan”.

Maka dalam hubungannya dengan kejayaan masa depan Islam, umat Islam sudah semestinya terpanggil untuk memberdayakan energi, vitalitas dan etos kerjanya dalam rangka memperkaya karya-karya budaya dalam segala aspek hidup dan kehidupan umat dalam memberi makna bagi manusia dan kemanusiaan. Menggarisbawahi Toynbee, Islam harus tampil untuk “menolong peradaban dunia” dan “menolong seluruh dunia kemanusiaan”, karena misi utama Islam – sebagaimana diungkapkan al-Qur’an : “memberi rahmat bagi seluruh umat manusia”. Maka. Misi ini sudah barang tentu akan memacu Islam dan umatnya untuk tampil sebagai alternatif kekuatan budaya dan sekaligus sebagai paradigma baru yang menandai munculnya sosok baru kebudayaan dunia.


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Endang Basari Ananda, Percikan Pemikiran Tentang Islam, Bulan Bintang, 1977, Jakarta.

Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press, Yogyakarta.

Hamka, Peladjaran Agama Islam, Bulan Bintang, 1956, Jakarta.

HAR Gibb, Modern Trends in Islam, Octagon Books, 1970, New York.Taufik Abdullah dan Sharon Siddiqie, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, terj. Rachman Achwan, LP3ES, 1989, Jakarta.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, PT. Gramedia, 1974, Jakarta.

M, Natsir, World of Islam Fertifal dalam Perspektif Sejarah, Yayasan Idayu, 1976, Jakarta.

Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Pustaka Pelajar, 1996 Yogyakarta.

Sutan Takdir Alisjahbana, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Jurusan Nilai-nilai, Yayasan Idayu, 1977, Jakarta.

Wilfred Cantwell Smith, Islam in Modern History, Princton University Press, 1977, New Jersey

Sumber Internet :

Fahmi Huwaidi, Kebangkitan Islam dan Permaslahan Hak Antara Warga Negara, From: http:/ /mediua. isnet.org/islam/Bangkit/Huwaidi1.html., akses, 23 September 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar